Jumat, 26 Februari 2016

MAKALAH HUKUM ADAT "ASAS-ASAS HUKUM ADAT"


MAKALAH HUKUM ADAT

“ASAS-ASAS HUKUM ADAT“

DISUSUN OLEH : RISPAL GUNAWAN
NIM : 2014021079


 




  



DOSEN PENGAMPU : MUHAMMAD LARONI, SH, MH.


FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
2016




Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini

Penyusun

Pamulang, Februari 2016



i
 
 



                                                 DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B Tujuan Penulisan...................................................................................... 2
C. Manfaat Penulisan .................................................................................. 2
BAB II
HUKUM ADAT DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
A.  Istilah Hukum Adat................................................................................ 3
B.  Unsur Hukum Adat................................................................................ 4
C.  Definisi Hukum Adat............................................................................. 6
D.  Masyarakat Hukum Adat
BAB III
HUKUM ADAT SEBAGAI SEGI (ASPEK) KEBUDAYAAN....................... 13
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 18

B. Saran....................................................................................................... 18
ii
 
BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Di zaman yang serba canggih ini terkadang kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang kita kenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara asia lainnya seperti jepang sebagai negara yang hampir sama dalam latar ideologi yaitu adanya sumber dimana  peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis tumbuh dan berkembangserta dipertahankan dengan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat tersebut dan dijadikan sebagai acuan (pedoman).
Latar belakang dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memahami istilah dan penerapan hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat khususnya masyarakat hukum adat, serta sebagai implementasi sosial dan kekerabatan dalam lingkungan masyarakat. Khususnya masyarakat indonesia yang masih sangat kuat dan eksistensinya tertanam hingga saat in menjadi pedoman yang tak bisa dipisahkan dengan hukum yang berlaku sekarang ini. Maka dari itu mari simak beberapa istilah dari “ASAS-ASAS HUKUM ADAT”.

2.      Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini  adalah untuk mengetahui:
-          Istilah Hukum Adat
-          Unsur Hukum Adat
-          Definisi Hukum Adat
-          Masyarakat Hukum Adat
-          Hukum Adat Sebagai Segi (Aspek) Kebudayaan

3.      Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk menambah  referensi mengenai mata kuliah HUKUM ADAT serta untuk memenuhi persyaratan nilai.






BAB II
HUKUM ADAT DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

A.    Istilah Hukum Adat
Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda adatrecht. Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memakain istilah itu, kemudian dikutip dan dipakai oleh Van Vollenhoven sebagai istilah terknis juridis. Dalam perundang-undangan, istilah adatrecht itu baru muncul pada tahun 1920, yaitu untuk pertama kali dipakai dalam undang-undang Belanda mengenai perguruan tinggi di Belanda.
                 Tetapi pada permulaan abad ke-20 lama sebelum dipakai dalam perundang-undangan, istilahadatrecht makin sering dipakai dalam literatur tentang hukum adat, yaitu dipakai oleh Nederburgh, Juynboll, Scheuer. Sesudah jilid I dari buku Van Vollenhoven, “Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie” diterbitkan maka tiada lagi  buku mengenai hukum asli di Indonesia yang memakai istilah lain daripada adatrecht untuk menyatakan hukum adat.
                 Dikalangan orang banyak hanya terdengar kata “adat” saja. Kata “adat” ini sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti “kebiasaan”. Dalam bahasa Indonesia dan berbagai macam suku golongan dipakai istilah yang bermacam-macam, seperti di daerah Gayo “odot”, Jawa Tengah dan Jawa Timur “adat/ngadat”, di daerah Minangkabau: “lambago” atau adat lembaga, kadang-kadang dipertentangkan antara adat dan lembaga, yaitu “adat” adalah mengikat dan mempunyai akibat hukum, sedangkan “lembaga” tidak mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum, di daerah Minahasa dan di Maluku terdengar istilah adat kebiasaan, di daerah Batak Karo istilah “adat” jarang sekali terdengar, disitu dipakai istilah-istilah basa atau bicara yang merupakan kebiasaan dan kesusilaan.

B.     Unsur Hukum Adat
Van den Berg adalah orang yang mengemukakan sebuah teori sehingga mengakibatkan kekeliruan dalam pengertian, dalam praktek dan dalam perundang-undangan pada bagian kedua abad yang lampau, bahkan pada permulaan abad ini. Van den Berg datang dengan teori receptio in complexu. Menurut teori ini, maka adat istiadat dan hukum sesuatu golongan (hukum) masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Lebih jelasnya jadi, hukum dari agama Islam adalah hukum Islam, hukum dari yang beragama Hindu adalah hukum Hindu.
Pendapan Van den Berg ini mendapat tentangan keras, dari antara lain Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven. Menurut Snouck Hurgronje tidak semua bagian hukum agama diterima, diresepsi, dalam hukum adat. Hanya beberapa bagian tertentu saja dari hukum adat dipengaruhi oleh hukum agama Islam, yaitu terutama bagian-bagian dari hidup manusia yang sifatnya mesra, yang hubunganya erat dengan kepercayaan dan hidup batin. Bagian-bagian itu adalah hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris. Bahwa agama adalah suatu inneelijke belevenis, yaitu suatu kepercayaan dan kehidupan batiniah.
Ter Haar membantah sebagian pendapat Snouck Hurgronje itu. Menurut Ter Haar hukum waris tidak dipengaruhi oleh Islam. Di Minangkabau hukum waris adalah tetap asli, yaitu suatu himpunan norma-norma  yang cocok dengan susunan dan struktur masyrakat Minangkabau. Akan tetapi Van Vollenhoven memberi ketegasan dan keterangan atas hal yang amat penting, dalam jilid II buku adatrecht diterangkan bahwa hal tersebut harus ditelaah dengan jalan meninjau sejarah, yaitu harus diadakan tinjauan kembali sampai pada waktu Islam sebagai agama sedang berkembag di tanah Arab, zaman memuncaknya pertentangan dan perebutan kekuasaan antara golongan Umajjah dipihak yang satu dan golongan Madinah dipihak yang lain.
Tegasnya dapat kita tarik kesimpulan dan ajaran bahwa hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris dan hukum wakaf dipengaruhi oleh hukum Islam. Dengan kata lain hukum adat itu mempunyai unsur-unsur asli maupun unsur-unsur keagamaan, walaupun pengaruh agama itu tidak begitu besar dan hanya dibeberapa daerah saja. Maka yang dimaksud dengan “Hukum Adat” adalah hukum asli yang tidak tertulis, yang berdasarkan kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang memeberi pedoman kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara yang satu dengan yang lain, baik di Kota maupun dan lebih-lebih di Desa.

C.    Definisi Hukum Adat
Suatu definisinya hanya dapat dipakai sebagai suatu pegangan sementara saja. Penyelidikan masih berjalan terus dan belum selesai, ilmu pengetahuan tumbuh dalam berbagai kemungkinan, masih juga suatu pengertian pokok dan menyeluruh telah diperlukan. Hukum adat bisa dikatakan tertulis atau tidak tertulis, pasti dan tidak pasti, hukum raja dan hukum rakyat dan seterusnya.
Namun beberapa pandangan mengenai “hukum adat” itu perlu, sebab istilah “hukum adat” seringkali menimbulkan salah paham.
Penjelasan mengenai apa  itu hukum adat dapat disimpulkan melalui pendapat menurut Soepomo dan Hazairin, bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama llain, baik  yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan yang benar-benar hidup dimasyarakat adat karena di anut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakt itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggran yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah yang terdiri dari Lurah, penghulu agama, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.
Jangan pernah mengira bahwa hukuman atas pelanggaran hanya berupa keputusan penguasa adat atau hakim. Hukuman dapat juga berupa celaan, tidak diajak bicara, tidak diberi tempat dalam upacara desa, diusir atau dikeluarkan dari lingkungan masyarakat hukum dan lain sebaginya.

D.    Masyarakat Hukum Adat
Lembaga hukum yang ada dalam suatu masyarakat seperti lembaga hukum tentang perkawinan, lembaga hukum tentang pewarisan, lemabaga hukum tentang jual beli barang, lembaga hukum tentang milik tanah dan lain-lain. Struktur masyarakat dapat menentukan system hukum yang berlaku dimasyarakat itu. Paling terasa gunanya mempelajari masyarakat adat  itu, jika kita hendak memahami segala hubungan hukum dan tindakan hukum di bidang perkawinan menurut adat, dibidang pertalian sanak sanak (keluarga) menurut adat dan dibidang waris menurut  adat.
Perumusan Teer Haar dapat dijelaskan bahwa masyarakat hukum (persekutuan hukum) adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud. Masyarakat hukum atau persekutuan hukum merupakan faktor terpenting unutk menentukan struktur hukum adat positif.
Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat genealogis (menurut asas keturunan) ialah masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal satu keturunan yang sama.
Dalam masyarakat hukum adat yang ditentukan oleh faktor genealogis ini, akan mengenal tiga macam pertalian keturunan, yaitu
1.    Pertalian keturunan menurut garis laki-laki hal ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Batak, orang Bali, orang Ambon.
2.    Pertalian keturunan menurut garis perempuan - hal ini terdapat dalam mayarakat hukum adat orang Minangkabau, orang Kerinci, orang Semendo.
3.    Pertalian keturunan menurut garis ibu bapak – hal ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Bugis, orang Dayak di Kmalimantan, orang Jawa.
Masyarakat hukum adat yang susunannya berdasarkan atas pertalian keturunan menurut garis laki-laki, masyarakat hukum adat kebapaan dengan msyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian menurut garis perempuan, masyarakat hukum adat keibuan, terbagi dalam kestuan-kesatuan yang terkecil disebut dan dapat dikatakan “kecil” dan tidak “terkecil” karena kesatuan yang terkecil adalah apa yang dalam bahasa belanda disebut gezin, yang terdiri atas ayah, ibu dan anak.
        Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak, masyarakat hukum adat keibu-bapaan adalah sekumpulan manusia yang merupakan kesatuan karena para anggotanya manarik garis keturunan melalui garis ayah, ibu dan kedua dinilai serta diberi derajat yang sama.
        Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian keturunan menurut garis alternerend adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya menarik garis keturunan berganti-ganti secara bergiliran melalui garis ayah maupun melalui garis ibu sesuai dengan bentuk perkawinan yang dialami oleh orang tua, yaitu bergiliran kawin jujur, kawin semendo maupun kawin semendo rajo-rajo (rejang).
        Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian keturunan menurut garis dubbel-unilateral adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya menarik garis keturunan melalui garis ayah dan garis ibu jalin-menjalin dan hal itu sesuai pndangan dari mereka yang bersangkutan dan tergantung pada hal apakah ia laki-laki atau perempuan.
        Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial yaitu masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu, dan oleh karena itu merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sehingga terasa ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggalnya.
Ada tiga jenis masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial :
1.    Masyarakat hukum desa
Masyarakat hukum desa adalah sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup dan system kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama yang merupakan satu kesatuan, satu tata-susunan, yang tertentu, bak keluar maupun kedalam. Contoh : desa-desa di Jawa dan Bali.
2.      Masyarakat hukum  wilayah (persekutuan desa)
Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang teritorialnya melingkupi beberapa masyarakat hukum desa dan masing-masing tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri. Contoh : kuria di Angkola dan Mandailing.
3.      Masyarakat hukum serikat desa (perserikatan desa)
Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang tutorialnya, yang dibentuk atas dasar kerjasama diberbagai lapangan demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu. Contoh : portable (perserikatan huta-huta) di Tapanuli.

Segala aktivitas masyarakat hukum desa dipusatkan kepada kepala desa, yang menjadi bapak masyarakat desa dan yang dianggap mengatahui segala peraturan-peraturan adat dan hukum adat masyarakat hukum adat yang dipimpinnya itu-oleh sebab itu kepala desa juga kepala adat.
Aktivitas kepala adat umumnya dibagi dalam tiga bidang, yaitu :
1.      Urusan tanah
2.      Penyelenggaraan tata tertib sosial dan tata tertib hukum supaya kehidupan dalam masyarakt hukum desa berjalan sebagaimana mestinya, supaya mencegah adanya pelanggran hukum (preventive)
3.      Usaha yang tergolong dalam penyelanggaraan hukum untuk mengembalikan (memulihkan) tata tertib sosial dan tata tertib hukum serta keseimbangan menurut ukuran-ukuran yang bersumber pada pandangan yang reigio-magis)

Akhirnya, perlu dikemukakan bahwa faktor territorial, ikatan antara orang dengan tanah, bukanlah faktor satu-satunya yang menentukan masyarakat hukum desa. Juga faktor genealogis adalah suatu faktor penting dan turut menentukan. Lambat laun kelompok itu menetap disuatu daerah tertentu  dan timbulah ikatan baru, yaitu ikatan antara kelompok itu dengan tanah yang dialaminya. Timbulah faktor territorial. Proses teritorialisasi ini pada saat sekarang hampir punah dan pada saat itu proses ini berjalan dipengaruhi oleh banyak hal seperti perkembangan kerohanian serta pandangan-pandangan terhadap alam sekitar, pengaruh ini adalah pengaruh yang bersifat timbal-balik.
















BAB III
HUKUM ADAT SEBAGAI SEGI (ASPEK) KEBUDAYAAN

Penyelidikan van Vollenhven serta sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah hukum adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada wilayah Repbuklik Indonesia, akan tetapi sampai pada kepulauan Nusantara kita. Dalam wilayah yang sangat luas ini, hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial dan tata tertib antara manusia, yang sama bergaul didalam suatu masyarakat, agar terhindar dari segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah mengancan. Inilah suatu kenyataan umum diseluruh dunia. Dimana ada masyarakat, disana ada hukum adat.
               Hukum yang terdapat disetiap masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecilnya masyarakat itu, menjadi cerminnya. Hukum tiap masyarakat, sebagai salah satu penjelmaan geestesstructuur masyarakat yang bersangkutan mempunyai sifat dan coraknya sendiri sehingga hukum masing-masing masyarakat itu berlain-lainan. Von Savigny, mengajarkan bahwa hukum mengikuti Volksgeist dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena Volkgeist masing-masing  masyarakat berlain-lainan. Sama dengan hukum adat di Indonesia, hukum adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Jadi, kita tidak boleh meninjau  hukum adat Indonesia terlepas dari apa yang dinamakaan Von Savigny, Volksgeist, geestesstructuur, grondstructuur masyarakat Indonesia, dari sudut cara berfikir yang khas orang Indonesia  yang terjelma dalam hukum adat itu.
     Tidak semua perubahan dalam jiwa  dan sturktur masyarakat merupakan perubahan fundamental, yang melahirkan suatu jiwa dan stuktur yang baru dalam masyarakat. Msyarakat merupakan susatu yang kontinu. Masyarakt berubah , tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai yang lama. Walaupun ada perubahan, masih ada beberapa hal-hal yang diteruskan. Jadi dalam suatu masyarakt terdapatlah realitas bahwa sesuatu proses yang mengatur kembali yang lama dan menghasilkan sinteste dari yang lama dan baru sesuai kehendak, kebutuhan, cara hidup dan pandangan hidup suatu rakyat. Mengenai perkembangan hukum, perubahan dari yang lama dan lahirnya yang baru, sintese dari yang lama dan yang baru, dari zaman ke zaman, von Savigny mengatakan bahwa perkembangan hukum itu bagi rakyat yang bersangkutan adalah des leben der Nation selbest.
               Hukum adat merupakan suatu segi kebudayaan Indonesia, adalah pancaran dari jiwa dan struktur masyarakat Indonesia, dari mentalitas orang dan masyarakat Indonesia yang mendasari hukum adat tersebut. F. D. Hollemen, yang pernah menjabat menjadi guru besar dalam mata pelajaran hukum adat di Liden dan menjadi pengganti van Vollenhoven disana, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in het Indonesische Rechtsieven, menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia yang hendaknya dipandang juga sebagai suatu kesatuan, yaitu sifat religio magis, sifat komun, sifat contant dan sifat konkret.
               Religio magis sebenarnya merupakan pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berfikir seperti prelogis, animise, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain. Karena pada dasarnya orang Indonesia berfikir serta merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) pada tenaga-tenaga yang gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan besar kecil dan  benda-benda yang berbentuk luar biasa dan semua tenaga-tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan.
               Hal yang kedua yaitu sifat komun adalah suatu segi  atau corak yang khas dari suatu mayarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehar-hari masih sangat tergantung pada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat-masyarakat semacam, lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan individu. Holleman, yang pendapatnya dikutip oleh koentjaraningrat mengemukakan bahwa sifat komunal dalam hukum adat yang berarti bahwa kepentingan individu dalam hukum adat selalu diimbangi oleh kepentingan umum, bahwa hak-hak individu dalam hukum adat diimbangi oleh hak-hak umum.
               Juga sifat contant, yang dalam bahasa Indonesia contant berarti sifat tunai yang mengandung arti bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga, adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti yuridis yang artinya berdiri sendiri. Dengan demikian, dalam hukum adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang-terima secara contant itu, adalah diluar akibat-akibat dan memang tidak bersangkut paut atau bersebab akibat menurut hukum.
               Sifat keempat yaitu konkret yang artinya dalam alam berfikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksud, diingini, dikehendaki atau akan dikerjakan, ditransformasikan atau diberi wujud sesuatu benda diberi tanda yang kelihatan, baik berupa langsung maupun hanya menyerupai objek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis dan lain-lain).
Jadi, dapat disimpulakan lagi bahwa hukum adat itu erupakan suatu segi dari kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia, suatu saripati dari kebutuhan hidup, cara hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia.

BAB IV
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Demikian ringkasan saya yang berbentuk makalah ini mengenai sifat-sifat umum hukum adat sebagai suatu kebudayaan yang diperkenalkan oleh berbagai penulis. Walaupun beberapa pendapat yang berlainan, namun tegaslah bahwa dalam usaha mengetahui lembaga-lembaga hukum adat Indonesia dan dalam mempelajarinya dengan cermat. Oleh karena itu hukum adat merupakan suatu segi dari kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia.

B.       SARAN

Dalam penyusunan makalah ini, tentunya penulis masih memiliki banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini baik dari isi maupun sistematika penulisan. Tidak ada gading yang tidak retak, saran yang membangun sangat penulis butuhkan untuk perbaikan penulis dalam menyelesaikan tugas-tugas dengan lebih baik lagi untuk kedepannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar