MAKALAH HUKUM ADAT
“ASAS-ASAS HUKUM ADAT“
DISUSUN OLEH : RISPAL GUNAWAN
NIM : 2014021079
DOSEN PENGAMPU : MUHAMMAD LARONI, SH, MH.
FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
2016
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan
saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan bagi para pembaca,
sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan
karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini
Penyusun
Pamulang,
Februari 2016
|
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B Tujuan
Penulisan...................................................................................... 2
C. Manfaat Penulisan .................................................................................. 2
C. Manfaat Penulisan .................................................................................. 2
BAB II
HUKUM ADAT
DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
A. Istilah
Hukum Adat................................................................................ 3
B. Unsur Hukum
Adat................................................................................ 4
C. Definisi
Hukum Adat............................................................................. 6
D. Masyarakat
Hukum Adat
BAB III
HUKUM
ADAT SEBAGAI SEGI (ASPEK) KEBUDAYAAN....................... 13
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 18
A. Kesimpulan............................................................................................. 18
B. Saran....................................................................................................... 18
|
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Di zaman yang serba canggih ini
terkadang kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang kita kenal dalam
lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara asia lainnya seperti
jepang sebagai negara yang hampir sama dalam latar ideologi yaitu adanya sumber
dimana peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis tumbuh dan
berkembangserta dipertahankan dengan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat
tersebut dan dijadikan sebagai acuan (pedoman).
Latar belakang dalam penyusunan makalah
ini adalah untuk memahami istilah dan penerapan hukum adat dan
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat khususnya masyarakat hukum adat,
serta sebagai implementasi sosial dan kekerabatan dalam lingkungan masyarakat.
Khususnya masyarakat indonesia yang masih sangat kuat dan eksistensinya
tertanam hingga saat in menjadi pedoman yang tak bisa dipisahkan dengan hukum
yang berlaku sekarang ini. Maka dari itu mari simak beberapa istilah dari
“ASAS-ASAS HUKUM ADAT”.
2.
Tujuan
penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah
ini adalah untuk mengetahui:
-
Istilah Hukum Adat
-
Unsur Hukum Adat
-
Definisi Hukum Adat
-
Masyarakat Hukum Adat
-
Hukum Adat Sebagai Segi (Aspek)
Kebudayaan
3.
Manfaat
Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah
untuk menambah referensi mengenai mata kuliah HUKUM ADAT serta untuk
memenuhi persyaratan nilai.
BAB
II
HUKUM
ADAT DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
A.
Istilah
Hukum Adat
Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah
bahasa Belanda adatrecht. Snouck
Hurgronje adalah orang pertama yang memakain istilah itu, kemudian dikutip dan
dipakai oleh Van Vollenhoven sebagai istilah terknis juridis. Dalam
perundang-undangan, istilah adatrecht
itu baru muncul pada tahun 1920, yaitu untuk pertama kali dipakai dalam
undang-undang Belanda mengenai perguruan tinggi di Belanda.
Tetapi
pada permulaan abad ke-20 lama sebelum dipakai dalam perundang-undangan,
istilahadatrecht makin sering dipakai
dalam literatur tentang hukum adat, yaitu dipakai oleh Nederburgh, Juynboll,
Scheuer. Sesudah jilid I dari buku Van Vollenhoven, “Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie” diterbitkan maka tiada lagi buku mengenai hukum asli di Indonesia yang
memakai istilah lain daripada adatrecht untuk
menyatakan hukum adat.
Dikalangan
orang banyak hanya terdengar kata “adat” saja. Kata “adat” ini sebenarnya
berasal dari bahasa Arab yang berarti “kebiasaan”. Dalam bahasa Indonesia dan
berbagai macam suku golongan dipakai istilah yang bermacam-macam, seperti di
daerah Gayo “odot”, Jawa Tengah dan Jawa Timur “adat/ngadat”, di daerah Minangkabau:
“lambago” atau adat lembaga, kadang-kadang dipertentangkan antara adat dan
lembaga, yaitu “adat” adalah mengikat dan mempunyai akibat hukum, sedangkan
“lembaga” tidak mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum, di daerah Minahasa
dan di Maluku terdengar istilah adat kebiasaan, di daerah Batak Karo istilah
“adat” jarang sekali terdengar, disitu dipakai istilah-istilah basa atau bicara
yang merupakan kebiasaan dan kesusilaan.
B.
Unsur
Hukum Adat
Van den Berg adalah orang yang mengemukakan sebuah
teori sehingga mengakibatkan kekeliruan dalam pengertian, dalam praktek dan
dalam perundang-undangan pada bagian kedua abad yang lampau, bahkan pada
permulaan abad ini. Van den Berg datang dengan teori receptio in complexu. Menurut teori ini, maka adat istiadat dan
hukum sesuatu golongan (hukum) masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama
yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Lebih jelasnya jadi, hukum dari agama
Islam adalah hukum Islam, hukum dari yang beragama Hindu adalah hukum Hindu.
Pendapan Van den Berg ini mendapat tentangan keras,
dari antara lain Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven. Menurut Snouck Hurgronje
tidak semua bagian hukum agama diterima, diresepsi, dalam hukum adat. Hanya
beberapa bagian tertentu saja dari hukum adat dipengaruhi oleh hukum agama
Islam, yaitu terutama bagian-bagian dari hidup manusia yang sifatnya mesra,
yang hubunganya erat dengan kepercayaan dan hidup batin. Bagian-bagian itu
adalah hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris. Bahwa agama adalah
suatu inneelijke belevenis, yaitu
suatu kepercayaan dan kehidupan batiniah.
Ter Haar membantah sebagian pendapat Snouck
Hurgronje itu. Menurut Ter Haar hukum waris tidak dipengaruhi oleh Islam. Di
Minangkabau hukum waris adalah tetap asli, yaitu suatu himpunan
norma-norma yang cocok dengan susunan
dan struktur masyrakat Minangkabau. Akan tetapi Van Vollenhoven memberi
ketegasan dan keterangan atas hal yang amat penting, dalam jilid II buku adatrecht diterangkan bahwa hal tersebut
harus ditelaah dengan jalan meninjau sejarah, yaitu harus diadakan tinjauan
kembali sampai pada waktu Islam sebagai agama sedang berkembag di tanah Arab,
zaman memuncaknya pertentangan dan perebutan kekuasaan antara golongan Umajjah
dipihak yang satu dan golongan Madinah dipihak yang lain.
Tegasnya dapat kita tarik kesimpulan dan ajaran
bahwa hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris dan hukum wakaf dipengaruhi
oleh hukum Islam. Dengan kata lain hukum adat itu mempunyai unsur-unsur asli
maupun unsur-unsur keagamaan, walaupun pengaruh agama itu tidak begitu besar
dan hanya dibeberapa daerah saja. Maka yang dimaksud dengan “Hukum Adat” adalah
hukum asli yang tidak tertulis, yang berdasarkan kebudayaan dan pandangan hidup
bangsa Indonesia, yang memeberi pedoman kepada sebagian besar orang-orang
Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara yang satu dengan
yang lain, baik di Kota maupun dan lebih-lebih di Desa.
C.
Definisi
Hukum Adat
Suatu definisinya hanya dapat dipakai
sebagai suatu pegangan sementara saja. Penyelidikan masih berjalan terus dan
belum selesai, ilmu pengetahuan tumbuh dalam berbagai kemungkinan, masih juga
suatu pengertian pokok dan menyeluruh telah diperlukan. Hukum adat bisa
dikatakan tertulis atau tidak tertulis, pasti dan tidak pasti, hukum raja dan
hukum rakyat dan seterusnya.
Namun beberapa pandangan mengenai “hukum
adat” itu perlu, sebab istilah “hukum adat” seringkali menimbulkan salah paham.
Penjelasan mengenai apa itu hukum adat dapat disimpulkan melalui
pendapat menurut Soepomo dan Hazairin, bahwa hukum adat adalah hukum yang
mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama
llain, baik yang merupakan keseluruhan
kelaziman dan kebiasaan yang benar-benar hidup dimasyarakat adat karena di anut
dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakt itu, maupun yang merupakan
keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggran yang
ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka yang
mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu,
ialah yang terdiri dari Lurah, penghulu agama, pembantu lurah, wali tanah,
kepala adat, hakim.
Jangan pernah mengira bahwa hukuman atas pelanggaran
hanya berupa keputusan penguasa adat atau hakim. Hukuman dapat juga berupa
celaan, tidak diajak bicara, tidak diberi tempat dalam upacara desa, diusir atau
dikeluarkan dari lingkungan masyarakat hukum dan lain sebaginya.
D.
Masyarakat
Hukum Adat
Lembaga
hukum yang ada dalam suatu masyarakat seperti lembaga hukum tentang perkawinan,
lembaga hukum tentang pewarisan, lemabaga hukum tentang jual beli barang, lembaga
hukum tentang milik tanah dan lain-lain. Struktur masyarakat dapat menentukan
system hukum yang berlaku dimasyarakat itu. Paling terasa gunanya mempelajari
masyarakat adat itu, jika kita hendak
memahami segala hubungan hukum dan tindakan hukum di bidang perkawinan menurut
adat, dibidang pertalian sanak sanak (keluarga) menurut adat dan dibidang waris
menurut adat.
Perumusan
Teer Haar dapat dijelaskan bahwa masyarakat hukum (persekutuan hukum) adalah
kesatuan manusia yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai
penguasa-penguasa dan kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud. Masyarakat
hukum atau persekutuan hukum merupakan faktor terpenting unutk menentukan
struktur hukum adat positif.
Masyarakat
hukum adat yang strukturnya bersifat genealogis (menurut asas keturunan) ialah
masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu
ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal satu keturunan
yang sama.
Dalam masyarakat hukum adat yang
ditentukan oleh faktor genealogis ini, akan mengenal tiga macam pertalian
keturunan, yaitu
1. Pertalian
keturunan menurut garis laki-laki hal ini terdapat dalam masyarakat hukum adat
orang Batak, orang Bali, orang Ambon.
2. Pertalian
keturunan menurut garis perempuan - hal ini terdapat dalam mayarakat hukum adat
orang Minangkabau, orang Kerinci, orang Semendo.
3. Pertalian
keturunan menurut garis ibu bapak – hal ini terdapat dalam masyarakat hukum
adat orang Bugis, orang Dayak di Kmalimantan, orang Jawa.
Masyarakat
hukum adat yang susunannya berdasarkan atas pertalian keturunan menurut garis
laki-laki, masyarakat hukum adat kebapaan dengan msyarakat hukum adat yang
susunannya didasarkan atas pertalian menurut garis perempuan, masyarakat hukum
adat keibuan, terbagi dalam kestuan-kesatuan yang terkecil disebut dan dapat
dikatakan “kecil” dan tidak “terkecil” karena kesatuan yang terkecil adalah apa
yang dalam bahasa belanda disebut gezin, yang
terdiri atas ayah, ibu dan anak.
Masyarakat hukum adat yang susunannya
didasarkan atas pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak, masyarakat hukum
adat keibu-bapaan adalah sekumpulan manusia yang merupakan kesatuan karena para
anggotanya manarik garis keturunan melalui garis ayah, ibu dan kedua dinilai
serta diberi derajat yang sama.
Masyarakat hukum adat yang susunannya
didasarkan atas pertalian keturunan menurut garis alternerend adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya
menarik garis keturunan berganti-ganti secara bergiliran melalui garis ayah maupun
melalui garis ibu sesuai dengan bentuk perkawinan yang dialami oleh orang tua,
yaitu bergiliran kawin jujur, kawin semendo
maupun kawin semendo rajo-rajo
(rejang).
Masyarakat hukum adat yang susunannya
didasarkan atas pertalian keturunan menurut garis dubbel-unilateral adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya
menarik garis keturunan melalui garis ayah dan garis ibu jalin-menjalin dan hal
itu sesuai pndangan dari mereka yang bersangkutan dan tergantung pada hal
apakah ia laki-laki atau perempuan.
Masyarakat hukum adat yang strukturnya
bersifat teritorial yaitu masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan
lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa
bersatu, dan oleh karena itu merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat
hukum adat yang bersangkutan, sehingga terasa ada ikatan antara mereka
masing-masing dengan tanah tempat tinggalnya.
Ada
tiga jenis masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial :
1. Masyarakat
hukum desa
Masyarakat
hukum desa adalah sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan
hidup, cara hidup dan system kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu
tempat kediaman bersama yang merupakan satu kesatuan, satu tata-susunan, yang
tertentu, bak keluar maupun kedalam. Contoh : desa-desa di Jawa dan Bali.
2. Masyarakat
hukum wilayah (persekutuan desa)
Masyarakat
hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang teritorialnya melingkupi
beberapa masyarakat hukum desa dan masing-masing tetap merupakan
kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri. Contoh : kuria di Angkola dan Mandailing.
3. Masyarakat
hukum serikat desa (perserikatan
desa)
Masyarakat
hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang tutorialnya, yang dibentuk
atas dasar kerjasama diberbagai lapangan demi kepentingan bersama masyarakat
hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu. Contoh : portable (perserikatan huta-huta) di
Tapanuli.
Segala
aktivitas masyarakat hukum desa dipusatkan kepada kepala desa, yang menjadi
bapak masyarakat desa dan yang dianggap mengatahui segala peraturan-peraturan
adat dan hukum adat masyarakat hukum adat yang dipimpinnya itu-oleh sebab itu
kepala desa juga kepala adat.
Aktivitas
kepala adat umumnya dibagi dalam tiga bidang, yaitu :
1. Urusan
tanah
2. Penyelenggaraan
tata tertib sosial dan tata tertib hukum supaya kehidupan dalam masyarakt hukum
desa berjalan sebagaimana mestinya, supaya mencegah adanya pelanggran hukum (preventive)
3. Usaha
yang tergolong dalam penyelanggaraan hukum untuk mengembalikan (memulihkan) tata
tertib sosial dan tata tertib hukum serta keseimbangan menurut ukuran-ukuran
yang bersumber pada pandangan yang reigio-magis)
Akhirnya,
perlu dikemukakan bahwa faktor territorial, ikatan antara orang dengan tanah,
bukanlah faktor satu-satunya yang menentukan masyarakat hukum desa. Juga faktor
genealogis adalah suatu faktor penting dan turut menentukan. Lambat laun
kelompok itu menetap disuatu daerah tertentu
dan timbulah ikatan baru, yaitu ikatan antara kelompok itu dengan tanah
yang dialaminya. Timbulah faktor territorial. Proses teritorialisasi ini pada
saat sekarang hampir punah dan pada saat itu proses ini berjalan dipengaruhi
oleh banyak hal seperti perkembangan kerohanian serta pandangan-pandangan
terhadap alam sekitar, pengaruh ini adalah pengaruh yang bersifat timbal-balik.
BAB III
HUKUM ADAT SEBAGAI SEGI (ASPEK)
KEBUDAYAAN
Penyelidikan
van Vollenhven serta sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah hukum adat Indonesia
itu tidak hanya terbatas pada wilayah Repbuklik Indonesia, akan tetapi sampai
pada kepulauan Nusantara kita. Dalam wilayah yang sangat luas ini, hukum adat
tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial
dan tata tertib antara manusia, yang sama bergaul didalam suatu masyarakat,
agar terhindar dari segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah mengancan.
Inilah suatu kenyataan umum diseluruh dunia. Dimana ada masyarakat, disana ada
hukum adat.
Hukum
yang terdapat disetiap masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecilnya
masyarakat itu, menjadi cerminnya. Hukum tiap masyarakat, sebagai salah satu
penjelmaan geestesstructuur
masyarakat yang bersangkutan mempunyai sifat dan coraknya sendiri sehingga
hukum masing-masing masyarakat itu berlain-lainan. Von Savigny, mengajarkan bahwa hukum mengikuti Volksgeist dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena Volkgeist masing-masing masyarakat berlain-lainan. Sama dengan hukum
adat di Indonesia, hukum adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan
hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhannya merupakan
kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Jadi, kita tidak boleh meninjau hukum adat Indonesia terlepas dari apa yang
dinamakaan Von Savigny, Volksgeist,
geestesstructuur, grondstructuur masyarakat Indonesia, dari sudut cara
berfikir yang khas orang Indonesia yang
terjelma dalam hukum adat itu.
Tidak semua perubahan dalam jiwa dan sturktur masyarakat merupakan perubahan
fundamental, yang melahirkan suatu jiwa dan stuktur yang baru dalam masyarakat.
Msyarakat merupakan susatu yang kontinu. Masyarakt berubah , tetapi tidak
meninggalkan nilai-nilai yang lama. Walaupun ada perubahan, masih ada beberapa
hal-hal yang diteruskan. Jadi dalam suatu masyarakt terdapatlah realitas bahwa
sesuatu proses yang mengatur kembali yang lama dan menghasilkan sinteste dari
yang lama dan baru sesuai kehendak, kebutuhan, cara hidup dan pandangan hidup
suatu rakyat. Mengenai perkembangan hukum, perubahan dari yang lama dan
lahirnya yang baru, sintese dari yang lama dan yang baru, dari zaman ke zaman,
von Savigny mengatakan bahwa perkembangan hukum itu bagi rakyat yang
bersangkutan adalah des leben der Nation
selbest.
Hukum
adat merupakan suatu segi kebudayaan Indonesia, adalah pancaran dari jiwa dan
struktur masyarakat Indonesia, dari mentalitas orang dan masyarakat Indonesia
yang mendasari hukum adat tersebut. F. D. Hollemen, yang pernah menjabat
menjadi guru besar dalam mata pelajaran hukum adat di Liden dan menjadi
pengganti van Vollenhoven disana, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in het Indonesische
Rechtsieven, menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia yang
hendaknya dipandang juga sebagai suatu kesatuan, yaitu sifat religio magis,
sifat komun, sifat contant dan sifat konkret.
Religio
magis sebenarnya merupakan pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur
beberapa sifat atau cara berfikir seperti prelogis, animise, pantangan, ilmu
gaib dan lain-lain. Karena pada dasarnya orang Indonesia berfikir serta merasa
dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) pada tenaga-tenaga yang gaib (magis)
yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta dan yang terdapat pada orang,
binatang, tumbuh-tumbuhan besar kecil dan
benda-benda yang berbentuk luar biasa dan semua tenaga-tenaga itu
membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan.
Hal
yang kedua yaitu sifat komun adalah suatu segi
atau corak yang khas dari suatu mayarakat yang masih hidup sangat
terpencil atau dalam hidupnya sehar-hari masih sangat tergantung pada tanah
atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat-masyarakat semacam, lebih mengutamakan
kepentingan umum dari pada kepentingan individu. Holleman, yang pendapatnya
dikutip oleh koentjaraningrat mengemukakan bahwa sifat komunal dalam hukum adat
yang berarti bahwa kepentingan individu dalam hukum adat selalu diimbangi oleh
kepentingan umum, bahwa hak-hak individu dalam hukum adat diimbangi oleh
hak-hak umum.
Juga
sifat contant, yang dalam bahasa Indonesia contant
berarti sifat tunai yang mengandung arti bahwa dengan suatu perbuatan nyata,
suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud
selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat
atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat. Perbuatan hukum yang dimaksud yang
telah selesai seketika itu juga, adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti
yuridis yang artinya berdiri sendiri. Dengan demikian, dalam hukum adat segala
sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang-terima secara contant itu, adalah
diluar akibat-akibat dan memang tidak bersangkut paut atau bersebab akibat
menurut hukum.
Sifat
keempat yaitu konkret yang artinya dalam alam berfikir yang tertentu senantiasa
dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksud, diingini, dikehendaki atau
akan dikerjakan, ditransformasikan atau diberi wujud sesuatu benda diberi tanda
yang kelihatan, baik berupa langsung maupun hanya menyerupai objek yang
dikehendaki (simbol, benda yang magis dan lain-lain).
Jadi,
dapat disimpulakan lagi bahwa hukum adat itu erupakan suatu segi dari kehidupan
dan kebudayaan bangsa Indonesia, suatu saripati dari kebutuhan hidup, cara
hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikian ringkasan saya yang
berbentuk makalah ini mengenai sifat-sifat umum hukum adat sebagai suatu
kebudayaan yang diperkenalkan oleh berbagai penulis. Walaupun beberapa pendapat
yang berlainan, namun tegaslah bahwa dalam usaha mengetahui lembaga-lembaga
hukum adat Indonesia dan dalam mempelajarinya dengan cermat. Oleh karena itu
hukum adat merupakan suatu segi dari kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia.
B. SARAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar